TALIABU, SerambiTimur- Pala, cengkeh, kakao, dan pisang—hasil kebun yang menjadi sumber penghidupan warga—ditebang untuk membuka akses jalan. Material berupa batu, pasir, hingga kuari pun ikut dikerahkan. Semua itu dilakukan dengan satu syarat: kontraktor pelaksana, PT Meranti Jaya, berjanji membayar ganti rugi. Namun, empat tahun sudah berlalu, janji itu tak pernah ditepati.
Ilham, mantan Sekretaris Desa Kamaya, menjadi suara dari keresahan kolektif itu. “PT Meranti Jaya sudah menipu kami. Mereka ambil hasil kebun kami dengan janji akan ganti rugi, tapi sampai hari ini tidak ada realisasi,” tegasnya dengan nada marah.
Kesabaran warga kini habis. Ilham menyampaikan ultimatum keras: bila dalam waktu dekat kontraktor tidak melunasi hutang pembayaran tanaman dan material, mereka akan bertindak. “Kami akan jual semua alat berat kontraktor yang masih terparkir di Kamaya. Kalau tidak, kami bakar sampai jadi abu!” ancamnya.
Ancaman ini bukan sekadar gertakan. Situasi di lapangan menunjukkan warga sudah bersatu dalam kemarahan. Bagi mereka, jalan yang seharusnya membawa harapan kini menjadi simbol pengkhianatan.
Jalan Kawalo–Waikoka memang telah memperlancar akses antarwilayah, tetapi di balik itu ada kisah getir warga yang haknya dirampas tanpa penyelesaian. Kasus ini menjadi pengingat bahwa pembangunan tanpa keadilan sosial hanyalah membangun di atas luka.
Jika pemerintah daerah maupun kontraktor tetap berdiam diri, potensi konflik terbuka lebar. Warga Taliabu tidak hanya menuntut pembayaran, mereka menuntut martabat dan hak hidup yang direnggut.















Tinggalkan Balasan