SOFIFI, SerambiTimur – Kebijakan tunjangan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD Maluku Utara senilai Rp30 juta per bulan kembali memperlihatkan jurang ketimpangan antara rakyat dan wakilnya. Di tengah tekanan ekonomi yang masih menghimpit warga, keputusan pemerintah daerah ini memantik gelombang protes di masyarakat.
Keputusan yang ditandatangani Pj. Gubernur Maluku Utara, yang kala itu dijabat oleh Samsuddin Abdul Kadir, pada 30 Januari 2025, dianggap publik sebagai bentuk pengelolaan anggaran yang jauh dari prinsip keadilan sosial. Banyak pihak menilai langkah ini menunjukkan lemahnya empati wakil rakyat terhadap kondisi masyarakat.
“Rakyat masih bergulat dengan kemiskinan ekstrem, tapi mereka malah menambah tunjangan pribadi. Ini bukan hanya tidak etis, tapi menyakitkan bagi publik,” ujar Ketua Harian DPD Persatuan Alumi (PA) GMNI Malut Mudasir Ishak.
Meski pemberian tunjangan memiliki landasan hukum, kebijakan ini dianggap tidak tepat waktu. Sektor pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur desa masih membutuhkan dukungan anggaran yang lebih besar, sementara dana justru dialihkan untuk kepentingan fasilitas pejabat.
Mudasir menyebutkan, keputusan ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap DPRD dan Pemerintah Provinsi. “Kebijakan seperti ini hanya memperlebar jarak antara penguasa dan rakyat. Jika tidak dikoreksi, bukan tidak mungkin akan memicu protes terbuka,” ujarnya
Gelombang kritik di media sosial pun semakin deras. Warga menuntut agar tunjangan tersebut dibatalkan dan dialihkan untuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama bagi daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi.















Tinggalkan Balasan