TIDORE, SerambiTimur –Senin sore (20/10/2025) itu, suasana di Rutan Kelas IIB Soasio mendadak mencekam. Dari balik jeruji besi, suara protes terdengar lantang. Bukan karena jadwal makan yang terlambat, melainkan karena darah yang menetes di wajah Jamaluddin Badi, salah satu dari sebelas tahanan warga adat Maba Sangaji, yang ditahan dalam kasus penolakan tambang nikel PT Position.
Sore itu, Sahil Abubakar alias Ilo, menghubungi tim advokasi. Awalnya hanya ingin menanyakan jadwal pembebasan, namun yang terdengar dari ujung telepon adalah suara gemetar bercampur marah.
“Kami dipukul… Jamal dipukul di wajah, darah keluar. Di rutan sudah kacau,” kata Ilo singkat.
Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (TAKI) segera mengonfirmasi kabar tersebut. Wetub Toatubun, perwakilan TAKI, memastikan laporan itu benar. Ia bahkan menyebut kondisi Jamal mengenaskan, dengan luka lebam di wajah dan bibir pecah. “Kami tidak bisa tinggal diam. Ini bukan pelanggaran biasa, ini penyiksaan terhadap tahanan,” tegasnya.
Namun, ketika dikonfirmasi, Kepala Rutan Soasio, David Lekatompessy, justru menyebut kejadian itu hanya “insiden kecil.” Ia berdalih pemukulan terjadi karena Jamal memulai perlawanan terhadap petugas.
“Kami akan periksa petugas yang terlibat, dan jika terbukti salah, tentu akan ada sanksi,” ujarnya.
Pernyataan ini dianggap tidak memadai oleh pihak advokasi. Sebab, jika benar hanya satu orang yang terlibat, mengapa sepuluh tahanan lain ikut memprotes dan situasi di rutan menjadi ricuh?
Di balik jeruji, sebelas warga adat itu bukan sekadar tahanan. Mereka adalah simbol perlawanan masyarakat Maba Sangaji terhadap eksploitasi tambang nikel yang mereka yakini merusak tanah adat. Kini, perjuangan mereka untuk mempertahankan alam harus dibayar dengan luka di dalam tembok penjara.
TAKI pun menyerukan agar Komnas HAM dan Ombudsman RI turun tangan. Mereka menegaskan, penganiayaan terhadap tahanan adalah pelanggaran serius terhadap Konvensi Anti Penyiksaan PBB, yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia.
“Rutan bukan tempat penyiksaan. Negara harus hadir untuk melindungi, bukan melukai,” pungkas Wetub.
Kini, publik menunggu: apakah janji penegakan hukum yang berkeadilan benar-benar berlaku untuk semua, atau justru berhenti di balik dinding lembaga yang seharusnya menjadi simbol pembinaan dan kemanusiaan.
Tinggalkan Balasan