Oleh: Syahrir Ibnu (Sosiolog Universitas Khairun)
Kasus dugaan suap yang melibatkan Muhaimin Syarif alias Ucu tak hanya menarik perhatian dari segi hukum, tetapi juga menyentuh dimensi sosial, budaya, dan agama. Dalam sidang 28 November lalu, jaksa menghadirkan Syahrir Ibnu, sosiolog Universitas Khairun, untuk memberikan pandangan mendalam terkait fenomena suap dan gratifikasi di Indonesia.
Menurut Syahrir, kasus ini perlu dilihat melalui lensa budaya lokal. “Sistem sosial di Indonesia, khususnya Maluku Utara, sangat dipengaruhi oleh tradisi seperti budaya memberi dan gotong royong,” ujarnya, kamis (5/12). Budaya ini, lanjutnya, sering kali menekankan solidaritas dan tanggung jawab kolektif, yang dalam praktiknya bisa berbenturan dengan hukum positif.
Syahrir menjelaskan, dalam masyarakat, pemberian kerap dimaknai sebagai bentuk penghormatan atau balas budi. Namun, dalam hukum, pemberian dengan tujuan memengaruhi kebijakan dapat dikategorikan sebagai gratifikasi atau suap. “Gesekan ini harus dipahami dalam konteks sosial dan nilai-nilai lokal,” katanya.
Analisis Sosial dan Agama
Syahrir memaparkan tiga aspek penting dalam menganalisis kasus ini:
- Motivasi Pemberian
Penting untuk melihat apakah pemberian dilakukan dengan niat tulus atau ada agenda tertentu. Rekam jejak pemberi juga menjadi indikator, misalnya apakah bantuan diberikan secara konsisten kepada masyarakat, seperti pembangunan sekolah, masjid, atau pesantren. - Konteks Sosial
Budaya lokal sering kali menerima praktik pemberian sebagai bagian dari tradisi. “Analisis nilai lokal membantu memahami batasan antara kontribusi sosial yang diterima dan tindakan yang dianggap menyimpang,” jelas Syahrir. - Dampak Sosial
Pemberian harus dinilai dari manfaatnya bagi masyarakat. Apakah fasilitas yang dibangun benar-benar bermanfaat, atau justru sebaliknya?
Dari perspektif agama, Syahrir menekankan pentingnya niat. “Dalam Islam, niat adalah kunci. Sebagaimana hadis Nabi, ‘Innamal a’malu binniyat’ (Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat),” ujarnya. Jika pemberian dilakukan dengan niat baik, maka perlu ada penilaian yang adil sebelum menyimpulkan pelanggaran hukum.
Penegakan Hukum Berbasis Konteks
Syahrir menegaskan, analisis terhadap tindakan seseorang harus mempertimbangkan fakta, konteks, dan niat. “Asumsi tanpa bukti konkret dapat mencederai asas keadilan,” katanya. Namun, jika terbukti ada pelanggaran hukum, penegakan hukum tetap harus dilakukan dengan mempertimbangkan sensitivitas terhadap nilai-nilai budaya lokal.
Dengan pendekatan ini, Syahrir berharap kasus Muhaimin Syarif dapat ditangani secara arif, adil, dan tidak mengabaikan konteks sosial budaya.














Tinggalkan Balasan