Oleh: Arief (Jurnalis Jalanan)
Editor: Redaksi SerambiTimur
“Ketika Keadilan Menemukan Wajahnya: Mengenang Frank Caprio, Hakim Berhati Nurani yang Dirindukan Negeri Ini”
Frank Caprio mungkin lahir, tumbuh, dan menutup usia jauh di Rhode Island, Amerika Serikat. Namun warisan terbesarnya—yakni wajah hukum yang penuh belas kasih—menyisakan jejak yang begitu dekat di hati banyak orang, termasuk rakyat Indonesia.
Caprio, pensiunan hakim kota yang dikenal dunia melalui acara Caught In Providence, berpulang pada usia 88 tahun setelah berjuang melawan kanker pankreas. Namun, cara ia menegakkan hukum membuatnya hidup jauh melampaui sekadar profesi: ia dikenang sebagai hakim yang “mengadili dengan hati.”
Bukan hanya di negaranya, klip-klip sidang Caprio telah menembus batas negara, termasuk Indonesia. Lebih dari satu miliar kali tayangan di media sosial menampilkan seorang hakim yang berbeda dari kebanyakan: bukan suara dingin palu sidang, melainkan suara empati yang membungkus keadilan.
Di ruang sidang, Caprio kerap menolak tuntutan atau mengurangi denda, bukan untuk melawan hukum, tetapi untuk menghadirkan sisi kemanusiaan dari hukum itu sendiri. “Keadilan harus bisa diakses semua orang,” katanya dalam salah satu pesannya, mengingatkan dunia bahwa hukum tidak hanya sekadar pasal, tetapi juga nurani.
Kerinduan yang Tersimpan di Indonesia
Di negeri ini, hukum sering dipersepsikan kaku, tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Banyak rakyat kecil berhadapan dengan jerat aturan tanpa pendampingan, tanpa ruang belas kasih, tanpa ruang untuk didengar.
Tak heran, ketika nama Frank Caprio mencuat lewat potongan sidangnya di YouTube atau Facebook, banyak orang Indonesia membandingkan: “Seandainya ada hakim seperti ini di negara kita.”
Caprio menunjukkan bahwa menegakkan hukum bukan sekadar menjatuhkan sanksi. Ia kerap memanggil anak-anak ke kursi hakim untuk ikut memberikan putusan, mengajarkan bahwa keadilan juga soal pendidikan moral. Ia mendengarkan cerita seorang ibu yang kehilangan anaknya, lalu membebaskan denda yang menjeratnya. Ia menolak menambah beban seorang bartender yang hanya berpenghasilan 3 dolar per jam.
Keadilan, dalam pandangan Caprio, bukan sekadar hitam-putih. Ada ruang abu-abu yang hanya bisa disentuh dengan empati. Dan justru di ruang abu-abu itulah keadilan menemukan wajah kemanusiaannya.
Pelajaran untuk Hukum di Tanah Air
Indonesia butuh lebih dari sekadar regulasi; Indonesia butuh wajah hukum yang menenangkan, bukan menakutkan. Rakyat mendambakan pengadilan tempat mereka tidak hanya diadili, tetapi juga didengarkan.
Caprio, lewat kesederhanaannya, seolah menampar sistem hukum di banyak negara, termasuk Indonesia: bahwa keadilan tidak seharusnya menjadi beban, melainkan jembatan menuju kehidupan yang lebih baik.
Kini, sang hakim berhati nurani itu telah pergi. Namun, pertanyaan yang ia tinggalkan menggantung di udara: Apakah di Indonesia akan lahir sosok-sosok penegak hukum yang mampu mengadili dengan akal sehat dan hati nurani?
Sebuah pertanyaan yang mungkin akan terus menjadi kerinduan rakyat kecil, yang berharap keadilan tak lagi hanya milik segelintir orang, melainkan milik semua.














Tinggalkan Balasan