TERNATE, SerambiTimur – Kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan gratifikasi terkait kredit macet Bank BPRS Saruma, Kabupaten Halmahera Selatan, senilai Rp15 miliar, dikabarkan telah dihentikan Kejaksaan Negeri (Kejari) Halsel melalui penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Penghentian penyidikan ini langsung menuai kritik dari Pengurus Besar Forum Mahasiswa Maluku Utara (PB Formanut) se-Jabodetabek. Mereka menilai, Kejari Halsel harus memiliki dasar hukum yang kuat sebelum menghentikan kasus yang sudah masuk tahap penyidikan.
Ketua PB Formanut se-Jabodetabek, M. Reza Sidik, menyebut langkah tersebut berpotensi menimbulkan tanda tanya publik. “SP3 memang untuk memberikan kepastian hukum, tapi harus dilakukan objektif dan hati-hati, apalagi ini menyangkut dugaan TPPU dan gratifikasi. Jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang,” tegas Reza, Selasa (16/9/2025).
PB Formanut bahkan berencana melaporkan Kajari Halsel dan Kasi Pidsus ke Kejaksaan Agung RI untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan dalam penanganan perkara ini.
Reza menambahkan, meski sebagian kerugian negara senilai Rp10 miliar sudah dikembalikan, hal itu tidak serta-merta menghapus pidana. “Pengembalian hanya bagian dari pemulihan aset. Proses hukum tetap harus berjalan demi efek jera,” ujarnya.
Kasus kredit macet ini disebut menyeret sejumlah nama besar, termasuk mantan Sekda Halsel Saiful Turuy, mantan Kepala BPKAD Aswin, Dirut BPRS Saruma Ichwan Rahmat, hingga kontraktor Leny Lutfi. Dari informasi yang dihimpun, pengembalian kerugian dilakukan tanpa melalui rapat resmi BPRS, melainkan melalui transfer oleh kontraktor Farid Abay ke sejumlah rekening perusahaan terkait.
Hingga kini, sekitar Rp5 miliar kerugian negara masih belum dikembalikan, namun Kejari Halsel justru sudah menerbitkan SP3.
Tinggalkan Balasan