TERNATE, SerambiTimur – Gelombang serangan buzzer terhadap anggota DPRD Provinsi Maluku Utara, Nazla Ukhra Kasuba, menuai kecaman publik. Serangan itu muncul setelah Nazla mengkritik keras Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, dalam rapat paripurna pembahasan Rancangan APBD 2026 di DPRD Malut.
Dalam forum resmi tersebut, Nazla menyoroti penurunan nilai APBD dari Rp3,1 triliun menjadi Rp2,7 triliun, yang disebutnya sebagai kegagalan diplomasi fiskal pemerintah provinsi. Ia juga menyesalkan ketidakhadiran Gubernur Sherly dalam sidang penting tersebut.
“Penurunan hampir 20 persen ini bukti diplomasi fiskal gubernur yang gagal total. Parahnya lagi, sudah gagal, absen pula,” ujar Nazla dalam sidang paripurna.
Tak lama berselang, berbagai akun anonim di media sosial melancarkan serangan personal bernada seksis dan politis terhadap Nazla. Kritik substantifnya soal APBD justru dipelintir menjadi isu pribadi dan gender.
Fenomena ini memantik reaksi keras dari kalangan akademisi dan aktivis. Samsul Hamja, alumni FISIP Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, menilai serangan buzzer itu sebagai kemunduran demokrasi lokal.
“Serangan terhadap Nazla menunjukkan bagaimana demokrasi lokal mulai terkontaminasi budaya politik buzzer. Kritik seharusnya dijawab dengan argumentasi, bukan caci maki,” tegas Samsul, Minggu (9/11/2025).
Ia mengingatkan, fungsi pengawasan DPRD dijamin oleh konstitusi dan tidak boleh dibungkam dengan cara-cara intimidatif.
“Kalau kritik DPRD saja dibungkam buzzer, maka fungsi check and balance lumpuh. Itu tanda bahaya bagi demokrasi daerah,” ujarnya.
Samsul menegaskan, penggunaan buzzer untuk menyerang wakil rakyat melanggar etika politik sekaligus mengancam kebebasan berpendapat yang dijamin UUD 1945. Fenomena ini, katanya, menjadi peringatan bahwa demokrasi Maluku Utara tengah menghadapi ujian serius.














Tinggalkan Balasan